“Sejarah tertulis berisi rekaman yang sangat sporadis dan tidak
lengkap”, demikian Gordon Childe menulis, “tentang apa yang telah manusia
lakukan di pelbagai belahan dunia selama lima ribu tahun terakhir”. Idealnya
sejarah adalah rekaman tentang semua rentetan peristiwa yang telah terjadi,
yang berfungsi sebagai pengungkap segala sesuatu sesuai dengan fakta yang ada
tanpa distorsi sedikitpun, tetapi pada kenyataannya ia hanya mengungkap
sebagian rentetan peristiwa tersebut dan tidak bisa lepas sepenuhnya dari
rekayasa yang biasanya dilakukan oleh penguasa politik.
Ilmu Pengetahuan Zaman Purba
Secara
garis besar, Amsal Bakhtiar membagi periodeisasi sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan menjadi empat periode: pada zaman Yunani kuno, pada zaman Islam,
pada zaman renaisans dan modern, dan pada zaman kontemporer. Periodeisasi ini
mengandung tiga kemungkinan. Pertama, menafikan adanya pengetahuan yang
tersistem sebelum zaman Yunani kuno. Kedua, tidak adanya data historis tentang
adanya ilmu sebelum zaman Yunani kuno yang sampai pada kita. Ketiga, Bakhtiar
sengaja tidak mengungkapnya dalam bukunya. Jika kemungkinan pertama yang
terjadi, maka informasi dari teks-teks agama tentang nama-nama yang Adam
ketahui, misalnya, tidak termasuk ilmu tetapi hanya pengetahuan belaka. Jika
kemungkinan kedua yang benar, maka bukan berarti pengetahuan yang tersistem
hanya ditemukan dan dimulai pada zaman Yunani kuno, tetapi ia sudah ada
sebelumnya hanya saja informasinya tidak sampai pada kita. Jika kemungkinan
ketiga yang berlaku, maka penulis perlu mengungkapnya meski hanya sekilas
karena keterbatasan referensi yang ada pada penulis.
Menurut
George J. Mouly, permulaan ilmu dapat disusur sampai pada permulaan manusia.
Tak diragukan lagi bahwa manusia purba telah menemukan beberapa hubungan yang
bersifat empiris yang memungkinkan mereka untuk mengerti keadaan dunia. Masa
manusia purba dikenal juga dengan masa pra-sejarah. Menurut Soetriono dan SDRm
Rita Hanafie, masa sejarah dimulai kurang lebih 15.000 sampai 600 tahun Sebelum
Masehi. Pada masa ini pengetahuan manusia berkembang lebih maju. Mereka telah
mengenal membaca, menulis, dan berhitung. Kebudayaan mereka pun mulai
berkembang di berbagai tempat tertentu, yaitu Mesir di Afrika, Sumeria,
Babilonia, Niniveh, dan Tiongkok di Asia, Maya dan Inca di Amerika Tengah.
Mereka sudah bisa menghitung dan mengenal angka. Meski agak berbeda dengan
pendapat tersebut, Muhammad Husain Haekal (1888-1956) berpendapat lebih
spesifik bahwa sumber peradaban sejak lebih dari enam ribu tahun yang lalu
(berarti sekitar 4000 SM) adalah Mesir. Zaman sebelum itu dimasukkan orang ke
dalam kategori pra-sejarah. Oleh karena itu, sukar sekali akan sampai kepada
suatu penemuan yang ilmiah.
Selanjutnya
Mouly menyebutkan bukti-bukti secara berurutan terhadap pernyataannya sebagai
berikut: Usaha mula-mula di bidang keilmuan yang tercatat dalam lembaran
sejarah dilakukan oleh bangsa Mesir, di mana banjir sungai Nil yang terjadi
tiap tahun ikut menyebabkan berkembangnya sistem almanak, geometri, dan
kegiatan survei. Keberhasilan ini kemudian diikuti oleh bangsa Babilonia dan
Hindu yang memberikan sumbangan-sumbangan yang berharga meskipun tidak
seinsentif kegiatan bangsa Mesir. Setelah itu muncul bangsa Yunani yang
menitikberatkan pada pengorganisasian ilmu di mana mereka bukan saja menyumbang
perkembangan ilmu dengan astronomi, kedokteran, dan sistem klasifikasi
Aristoteles, namun juga silogisme yang menjadi dasar bagi penjabaran secara
deduktif pengalaman-pengalaman manusia.
Peradaban
Mesir kuno, misalnya, mewariskan peninggalan-peninggalan bermutu tinggi seperti
piramida, kuil, dan sistem penatanan kota. Peninggalan-peninggalan ini tidak
mungkin ada tanpa adanya ilmu yang mereka miliki. Proses pembangunan piramida
yang menjulang tinggi dan tersusun dari batu-batu besar pilihan tak bisa lepas
dari matematika dan arsitektur. Begitu pula dengan proses pembangunan kuil
megah mereka. Sementara itu, sistem penataan kota membutuhkan arsitektur dan
administrasi pemerintahan. Dengan kata lain, peninggalan-peninggalan bersejarah
tersebut menunjukkan adanya ilmu-ilmu tertentu yang mereka miliki sehingga
mereka bisa mewujudkan impian mereka menjadi kenyataan. Menurut Haekal, Mesir
adalah pusat yang paling menonjol membawa peradaban pertama ke Yunani atau
Rumawi.
Ilmu Pengetahuan Zaman Yunani Kuno
Yunani
kuno sangat identik dengan filsafat. Ketika kata Yunani disebutkan, maka yang
terbesit di pikiran para peminat kajian keilmuan bisa dipastikan adalah
filsafat. Padahal filsafat dalam pengertian yang sederhana sudah ada jauh
sebelum para filosof klasik Yunani menekuni dan mengembangkannya. Filsafat di
tangan mereka menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi perkembangan ilmu
pengetahuan pada generasi-generasi setelahnya. Ia ibarat pembuka pintu-pintu
aneka ragam disiplin ilmu yang pengaruhnya terasa hingga sekarang. Sehingga
wajar saja bila generasi-generasi setelahnya merasa berhutang budi padanya,
termasuk juga umat Islam pada abad pertengahan masehi bahkan hingga sekarang.
Tanpa mengkaji dan mengembangkan warisan filsafat Yunani rasanya sulit bagi
umat Islam kala itu merengkuh zaman keemasannya. Begitu juga orang Barat tanpa
mengkaji pengembangan filsafat Yunani yang dikembangkan oleh umat Islam rasanya
sulit bagi mereka membangun kembali peradaban mereka yang pernah mengalami
masa-masa kegelapan menjadi sangat maju dan mengungguli peradaban-peradaban
besar lainnya seperti sekarang ini.
Periode
filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban
manusia karena pada waktu ini terjadi perubahan pola pikir manusia dari
mitosentris menjadi logosentris. Dari proses inilah kemudian ilmu berkembang
dari rahim filsafat yang akhirnya kita nikmati dalam bentuk teknologi. Karena
itu, periode perkembangan filsafat Yunani merupakan entri poin untuk memasuki
peradaban baru umat manusia. Inilah titik awal manusia menggunakan rasio untuk
meneliti dan sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya.
Filosof
alam pertama yang mengkaji tentang asal-usul alam adalah Thales (624-546 SM),
setelah itu Anaximandros (610-540 SM), Heraklitos (540-480 SM), Parmenides
(515-440 SM), dan Phytagoras (580-500). Thales, yang dijuluki bapak filsafat,
berpendapat bahwa asal alam adalah air. Menurut Anaximandros substansi pertama
itu bersifat kekal, tidak terbatas, dan meliputi segalanya yang dinamakan
apeiron, bukan air atau tanah. Heraklitos melihat alam semesta selalu dalam
keadaan berubah. Baginya yang mendasar dalam alam semesta adalah bukan
bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya yaitu api. Bertolak belakang dengan
Heraklitos, Parmenides berpendapat bahwa realitas merupakan keseluruhan yang
bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Phytagoras berpendapat bahwa
bilangan adalah unsur utama alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil,
terbatas dan tidak terbatas. Jasa Phytagoras sangat besar dalam pengembangan
ilmu, terutama ilmu pasti dan ilmu alam. Ilmu yang dikembangkan kemudian hari
sampai hari ini sangat bergantung pada pendekatan matematika. Jadi setiap
filosof mempunyai pandangan berbeda mengenai seluk beluk alam semesta.
Perbedaan pandangan bukan selalu berarti negatif, tetapi justeru merupakan
kekayaan khazanah keilmuan. Terbukti sebagian pandangan mereka mengilhami
generasi setelahnya.
Pandangan
para filosof Sofis tersebut disanggah oleh para filosof setelahnya seperti
Socrates (470-399 SM), Plato (429-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM).
Menurut mereka, ada kebenaran obyektif yang bergantung kepada manusia. Socrates
membuktikan adanya kebenaran obyektif itu dengan menggunakan metode yang
bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan. Menurutnya,
kebenaran universal dapat ditemukan. Bagi Plato, esensi mempunyai realitas yang
ada di alam idea. Kebenaran umum ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam
idea. Filsafat Yunani klasik mengalami puncaknya di tangan Aristoteles. Dia
adalah filosof yang pertama kali membagi filsafat pada hal yang teoritis
(logika, metafisika, dan fisika) dan praktis (etika, ekonomi, dan politik).
Pembagian ilmu inilah yang menjadi pedoman bagi klasifikasi ilmu di kemudian
hari. Dia dianggap sebagai bapak ilmu karena mampu meletakkan dasar-dasar dan
metode ilmiah secara sistematis. Karena demikian meresapnya serta lamanya
pengaruh ajaran-ajaran Plato dan Aristoteles, A.N. Whitehead memberikan catatan
bahwa segenap filsafat sesudah masa hidup keduanya sesungguhnya merupakan
usulan-usulan belaka terhadap ajaran-ajaran mereka. Pendapat Whitehead tidak
seluruhnya benar karena umat Islam, misalnya, selain mengembangkan filsafat
mereka, mereka juga melakukan inovasi di beberapa persoalan filsafat Yunani
sehingga memiliki karakteristik islami.
Ilmu
Pengetahuan Zaman Islam Klasik
Ilmu-ilmu
keislaman seperti tafsir, hadis, fiqih, usul fiqih, dan teologi sudah
berkembang sejak masa-masa awal Islam hingga sekarang. Khusus dalam bidang
teologi, Muktazilah dianggap sebagai pembawa pemikiran-pemikiran rasional.
Menurut Harun Nasution, pemikiran rasional berkembang pada zaman Islam klasik
(650-1250 M). Pemikiran ini dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana
tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadis.
Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang sama dari Yunani melalui filsafat dan
sains Yunani yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam
Zaman Klasik, seperti Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syiria),
dan Bactra (Persia).
W.
Montgomery Watt menambahkan lebih rinci bahwa ketika Irak, Syiria, dan Mesir
diduduki oleh orang Arab pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan dan filsafat
Yunani dikembangkan di berbagai pusat belajar. Terdapat sebuah sekolah terkenal
di Alexandria, Mesir, tetapi kemudian dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan
kemudian –pada sekitar tahun 900 M– ke Baghdad. Kolese Kristen Nestorian di
Jundisyapur, pusat belajar yang paling penting, melahirkan dokter-dokter istana
Hārūn al-Rashīd dan penggantinya sepanjang sekitar seratus tahun. Akibat kontak
semacam ini, para khalifah dan para pemimpin kaum Muslim lainnya menyadari apa
yang harus dipelajari dari ilmu pengetahuan Yunani. Mereka mengagendakan agar
menerjemahkan sejumlah buku penting dapat diterjemahkan. Beberapa terjemahan sudah
mulai dikerjakan pada abad kedelapan. Penerjemahan secara serius baru dimulai
pada masa pemerintahan al-Ma’mūn (813-833 M). Dia mendirikan Bayt al-Ḥikmah,
sebuah lembaga khusus penerjemahan. Sejak saat itu dan seterusnya, terdapat
banjir penerjemahan besar-besaran. Penerjemahan terus berlangsung sepanjang
abad kesembilan dan sebagian besar abad kesepuluh.
Buku-buku
matematika dan astronomi adalah buku-buku yang pertama kali diterjemahkan.
Al-Khawārizmī (Algorismus atau Alghoarismus) merupakan tokoh penting dalam
bidang matematika dan astronomi. Istilah teknis algorisme diambil dari namanya.
Dia memberi landasan untuk aljabar. Istilah “algebra” diambil dari judul
karyanya.Di
antara ahli matematika yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
adalah al-Nayrīzī atau Anaritius (w. 922 M) dan Ibn al-Haytham atau Alhazen (w.
1039 M). Ibn al-Haytham menentang teori Eucleides dan Ptolemeus yang menyatakan
bahwa sinar visual memancar dari mata ke obyeknya, dan mempertahankan pandangan
kebalikannya bahwa cahayalah yang memancar dari obyek ke mata. Di bidang
astronomi, al-Battānī (Albategnius) menghasilkan table-tabel astronomi yang
luar biasa akuratnya pada sekitar tahun 900 M. Ketepatan observasi-observasinya
tentang gerhana telah digunakan untuk tujuan-tujuan perbandingan sampai tahun
1749 M. Selain al-Battānī, ada Jābir ibn Aflaḥ (Geber) dan al-Biṭrūjī
(Alpetragius). Jābir ibn Aflaḥ dikenal
karena karyanya di bidang trigonometri sperik. Di bidang astronomi dan
matematika, ada juga Maslamah al-Majrīṭī (w. 1007 M), Ibn
al-Samḥ, dan Ibn al-Ṣaffār. Ibn Abī al-Rijāl
(Abenragel) di bidang astrologi.
Dalam
bidang kedokteran ada Abū Bakar Muḥammad ibn Zakariyyā
al-Rāzī atau Rhazes (250-313 H/864-925 M atau 320 H/932 M) , Ibn Sīnā atau
Avicenna (w. 1037 M), Ibn Rushd atau Averroes (1126-1198 M), Abū al-Qāsim
al-Zahrāwī (Abulcasis), dan Ibn Ẓuhr
atau Avenzoar (w. 1161 M). Al-Ḥāwī karya al-Rāzī merupakan
sebuah ensiklopedi mengenai seluruh perkembangan ilmu kedokteran sampai
masanya. Untuk setiap penyakit dia menyertakan pandangan-pandangan dari para
pengarang Yunani, Syiria, India, Persia, dan Arab, dan kemudian menambah
catatan hasil observasi klinisnya sendiri dan menyatakan pendapat finalnya.
Buku Canon of Medicine karya Ibnu Sīnā sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin pada abad ke-12 M dan terus mendominasi pengajaran kedokteran di Eropa
setidak-setidaknya sampai akhir abad ke-16 M dan seterusnya. Tulisan Abū
al-Qāsim al-Zahrāwī tentang pembedahan (operasi) dan alat-alatnya merupakan
sumbangan yang berharga dalam bidang kedokteran.
0 komentar:
Posting Komentar